Oleh : Anton Hilman, S.Si
Pendamping Desa dari Lampung
TVDesa – Kembali, pada APBDES Tahun 2025 desa diwajibkan dengan kebijakan anggaran yang mengharuskan ketahanan pangan minimal 20% dari total Dana Desa, dan maksimal 15% untuk bantuan lngsung tunai (BLT DD), juga ada 5 kegiatan lainnya yang wajib dianggarkan, seperti untuk stunting, tanggap perubahan iklim, Bumdes, padat karya tunai desa.
Sebagaimana kita ketahui, sejak beberapa tahun lalu, tepatnya saat COVID-19, disinilah awal munculnya pengaturan persentase.
Ada kebijakan anggaran oleh pusat, persentase minimal dan maksimal terkait BLT DD dan Ketahanan pangan, dan mewajibkan kegiatan pencegahan dan penanganan stunting dengan peran utama di posyandu.
Jika kita cek kembali di permendes atau Permendagri, kegiatan kegiatan penanggulangan bencana, ketahanan pangan, itu sudah ada dari awal DD di tahun 2015 bahkan sebelum ada DD, masih regulasi Permendagri, kegiatan tersebut sudah ada.
Yang membedakan dengan saat ini adalah aturan PROSENTASE atau Persentase dan menjadi wajib atau mandatory dan dikelompokkan ke earmarking.
Jadi, program ketahanan pangan, bantuan penanggulangan bencana, dukungan kegiatan di posyandu itu bukan hal baru, sekali lagi bukan hal yang baru. Pengaturan persentasenya yang baru.
Kenapa ada persentase?
Sederhananya ini terkait dengan POSTUR APBDES, berikut analoginya.
Jika kita mau mengirim atlet lomba lari tentu yang dikirim bukan yang gemuk tapi yang langsung, tidak terlalu tinggi.
Atau jika kita mau membentuk tim voly maka diutamakan yang tinggi, baik badannya juga lompatan nya, bukan yang pendek.
Atau jika kita mau kirim atlet lomba gulat, pasti yang dikirim yang besar dan kuat badannya.
Begitu juga APBDES.
Negara sedang menghadapi kondisi global, regional, nasional dan lokal yang membutuhkan postur khusus APBDES. Tidak sembarang bentuk APBDES.
Masalah pangan yang akan diatasi dengan program swasembada pangan.
Masalah SDM dengan program makan bergizi gratis untuk anak sekolah. Masalah kemiskinan ekstrem akan diselesaikan dengan target zero miskin ekstrem tahun 2026. Masalah stunting dan lainnya yang menjadi prioritas nasional.
Untuk itu, dibutuhkan apbdes yang menganggarkan kegiatan untuk ketahanan pangan yang besar minimal 20%. Dibutuhkan pemberian bantuan langsung ke masyarakat miskin dengan kriteria dan jumlah tertentu maksimal 15%. Dibutuhkan kegiatan kesehatan yang terarah untuk ibu hamil, balita dan badut bahkan remaja dan lansia.
Adalah aneh jika kita mengirimkan atlet yang gemuk besar untuk ikut lomba lari jarak pendek dengan target juara.
Adalah lucu jika kita kirim atlet kecil pendek untuk ikut lomba gulat, sedangkan lawannya besar dan kuat dan berharap akan dapat juara.
Kita tahu, Presiden Prabowo punya program prioritas Swasembada pangan, makan bergizi gratis, zero miskin ekstrem, swasembada energi, hilirisasi produk pertanian dan lainnya, yang ini menuntut sinergis disemua level pemerintahan dalam pengelolaan anggaran.
Adalah gagal paham jika kita menghadapi ancaman pangan, tapi tidak menganggarkan dengan jumlah yg cukup untuk mengatasi hal tersebut.
Adalah gagal paham, jika kita membutuhkan pasokan sembako yang banyak jumlah dan jenisnya tapi tidak ada orientasi untuk menyiapkannya.
Adalah Keniscayaan, kita akan gagal menghadapi ancaman atau mengatasi masalah global regional dan lokal yang sudah dikaji oleh negara dengan bantuan para pakar, para peneliti, jika regulasi atau kebijakan yang dibuat tidak dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan.
Peraturan perundang-undangan, adalah bentuk lain dari hasil kajian, penelitian, pengalaman, para ahli dan para pakar.
Peraturan perundang-undangan telah melalui beberapa proses; ada proses akademik, ada proses politik, ada proses partisipatif dan juga proses kajian idiologis negara.
Jika ingin berhasil dan sukses ikutilah aturan yang sdah dibuat berdasarkan kajian tersebut, dengan terlebih dahulu melakukan kajian KONTEK LOKAL desa kita.
JIka asal diterapkan, tidak melalui proses pengkajian kondisi lokal akan ada resiko tidak maksimal hasilnya, karena regulasi yang ada itu skalanya nasional.
Kewajipan pemerintah kabupaten dan stake holder lokal untuk menterjemahkan nya dalam kontek lokal.
Singkat nya bukan copy paste dilaksanakan, tanpa konsep yang jelas, terukur dan terarah. (*)
Lampung, Indonesia.