TV Desa – Bogor : Kolaborasi yang dipilih Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor bersama Institut Pertanian Bogor, sukses melahirkan Program Sekolah Pemerintahan Desa. Bupati Bogor, Ade Yasin, mengatakan pelaksanaan program ini untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan aparatur desa tentang tata kelola pemerintahan desa di era digital, dinamika dan perencanaan pembangunan berbasis data sensus, partisipatif dan spasial.
“Nantinya para aparatur desa ini akan didampingi oleh tenaga pengajar profesional serta kompeten dari IPB University,” kata Ade Yasin saat peluncuran Program Sekolah Pemerintahan Desa bersama IPB, Senin (13/9) dilansir dari laman bogorkab.go.id.
Ade juga memaparkan, bahwa Sekolah Pemerintahan Desa (SPD) ini adalah sekolah pertama dan satu-satunya tentang pemerintahan desa di Indonesia. Angkatan pertama sekolah ini, diresmikan bersamaan dengan peluncuran program SPD di Auditorium Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor, Senin (13/9).
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Bogor, Renaldi Yushab Fiansyah, mengatakan Sekolah Pemerintahan Desa akan menggunakan teknologi 4.0, berbentuk data citra desa dengan resolusi tinggi hingga 5 cm plus data numerik dan deskriptif sehingga memiliki tingkat akurasi tinggi dalam menggambarkan potensi desa.
“Sekolah Pemerintahan Desa tahun 2021 ini akan berlangsung hingga bulan Desember. Sekolah ini diikuti oleh total 120 peserta yang terdiri dari, 40 kepala desa yang berasal dari 39 kecamatan. Masing-masing kades didampingi oleh 2 orang operator yaitu operator sosial dan operator spasial dari perangkat desa,” jelas Yushab.
Sementara, Wakil Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat IPB University, Sofyan Syaf mengatakan, bahwa inisasi Bupati Bogor tersebut, semata untuk meningkatkan kapasitas para aparatur desa, serta para pemuda-pemudi yang ada di desa, melalui Sekolah Pemerintahan Desa. Sofyan menambahkan, bila IPB akan setulus hati berkomitmen, membantu Kabupaten Bogor dalam melaksanakan pembangunan desa.
“Mudah-mudahan apa yang sudah diusung oleh Bupati Bogor ini, menjadi bagian penting sebagai contoh keteladanan yang dapat ditiru untuk pembangunan desa-desa di Indonesia,” tandas Sofyan.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.