TV Desa – Boalemo : Masih tersisanya 66 desa yang belum mendapatkan akses internet atau blank spot, membuat Provinsi Gorontalo, menyulut lagi semangat untuk mempertandingkan Desa-desa digital yang sudah ada.
“Lomba desa digital ini sebagai bentuk dukungan dari DPRD Provinsi Gorontalo dan Pemprov Gorontalo untuk mewujudkan desa digital di seluruh desa di Provinsi Gorontalo,” jelas Ketua Komisi I A.W. Thalib, saat RoadShow, yang diterima langsung Plt. Bupati Boalemo di Kantor Bupati Boalemo, Selasa (28/9/21).
Semangat untuk mewujudkan keseluruhan dari 734 desa se Provinsi Gorontalo, terkoneksi dengan internet pada tahun 2022 akan ditandai dengan lomba desa digital. Usulan lomba desa digital ini diangkat kembali dalam road show Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo yang didampingi Dinas Kominfotik Provinsi Gorontalo di Kabupaten Boalemo.
A.W. Thalib menjelaskan untuk Provinsi Gorontalo, diharapkan seluruh desa sudah terkonek dengan internet pada tahun 2022.
Di tempat yang sama, Kepala Dinas Kominfotik Provinsi Gorontalo, Masran Rauf, menjelaskan, untuk lomba desa digital nantinya akan didukung penuh oleh Diskominfotik
“Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo sangat mendukung untuk mewujudkan program desa digital melalui dukungan anggaran yang diberikan kepada Diskominfotik,” ungkap Masran.
Road show ini akan berlanjut ke beberapa kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, dan Gorontalo Utara.
Provinsi Gorontalo, sebaimana dikutip dari situs PT TELKOM, merupakan Modern Broadband Province pertama di Kawasan Timur Indonesia. Provinsi ini, semenjak bulan Agustus 2019, sudah memiliki Gorontalo Modern Broadband Province yang menggunakan berbagai pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT), dan sekaligus menjadikan Gorontalo masuk sebagai 3 besar daerah di Indonesia yang memiliki speed internet download tercepat, sampai 11,9 Mbps.
Sementara itu, beberapa kabupaten di Gorontalo, juga memiliki program untuk mendigitalkan semua desa yang terdapat di wilayahnya. Misalkan saja kabupaten Gorontalo, yang memiliki program 5 tahun mendatang seluruh desa dalam wilayahnya terkoneksi internet dengan baik.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.