TVDesa – Bengkulu : Dalam upaya meningkatkan kapasitas aparatur desa, Pemerintah Provinsi Bengkulu melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) meluncurkan program beasiswa kuliah S1 bagi para Kepala Desa dan Perangkat Desa. Program ini merupakan wujud komitmen Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, untuk memajukan desa-desa di wilayahnya.
Sejak September 2023, sebanyak 92 Kepala Desa dan Perangkat Desa dari 9 kabupaten di Bengkulu telah mengikuti program ini. Mereka terdaftar dalam program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) Desa yang diselenggarakan di Universitas Terbuka (UT).
Kepala Dinas PMD Provinsi Bengkulu, H. R.A. Denni, SH, MM, menjelaskan bahwa program ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di tingkat desa. Mengingat, mayoritas Kepala Desa dan Perangkat Desa hanya memiliki jenjang pendidikan SMA.
“Melalui program ini, diharapkan para Kepala Desa dan Perangkat Desa dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola desa. Sehingga, desa-desa di Bengkulu dapat menjadi lebih maju dan sejahtera,” ujar Denni.
Pemilihan UT sebagai perguruan tinggi penyelenggara program ini didasarkan pada sistem pembelajaran jarak jauh yang ditawarkan. Hal ini memungkinkan para peserta untuk tetap menjalankan tugasnya sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa tanpa harus meninggalkan lokasi tempat tinggalnya.
Program beasiswa ini mencakup pembiayaan SPP, modul, dan seminar selama dua tahun. Para peserta diwajibkan untuk memilih jurusan Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Meskipun kuota awal program ini adalah 100 orang, namun hanya 92 orang yang memenuhi syarat. Denni tidak menutup kemungkinan adanya penambahan kuota di masa depan, dengan persetujuan dari Gubernur dan pihak UT.
“Program ini merupakan langkah awal yang baik untuk meningkatkan kualitas pemerintahan desa di Bengkulu. Kami berharap program ini dapat terus berlanjut dan memberikan manfaat bagi masyarakat desa,” tutup Denni.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.