Dr. M. Rusydi, M.Ag
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah Palembang
Perkembangan merupakan sunatullah. Dari sekian banyak perkembangan dalam sejarah, perkembangan yang disebabkan sains dan teknologi terbukti telah menimbulkan dampak paling besar terhadap kehidupan manusia termasuk terhadap kegiatan ekonomi dan bisnis khususnya tata cara perdagangan melalui transaksi elektronik. Terlebih lagi kondisi pandemic saat ini “memaksa” bukan sekedar Gerakan Non Tunai, karena keharusan menjaga jarak dan menghindari sentuhan, tetapi juga memarakkan transaksi jual beli online yang menjadi Issue utama tulisan ini.
Syariah bagi seorang Muslim
Dalam Islam, praktis tidak ada segi kehidupan manusia yang tidak tersentuh hukum. Walaupun jika dibandingkan dengan ajaran Yahudi ortodoks, regulasi yang ditetapkan dalam al-Qur`an sebenarnya lebih sedikit yang mengatur perilaku dalam kehidupan sehari-hari, namun di mata Barat, Islam tampak seperti “agama hukum”, sebab Islam memang ingin membentuk dan mengatur seluruh jalur kehidupan sehari-hari penganutnya. Ke manapun seorang Muslim melangkah dan dalam aktivitas apapun, baik bersifat material maupun spiritual, individu atau sosial, gagasan atau operasional, keagamaan atau politis, ekonomis ataupun moral, (hukum) Islam selalu menyertainya.
Dalam hukum Islam dikenal kaidah “La Yunkiru Tagayyur Al-Ahkam Bitagayyur Al-Azman wa Al-Ahwal”(tidak diingkari berubahnya sebuah hukum disebabkan karena berubanhya zaman dan keadaan). Kaidah yang menunjukan azas fleksibilitas hukum Islam ini, bisa dipastikan sebagai antisipasi dari perkembangan yang merupakan suatu keniscayaan. Namun ketika sistem hukum yang dibangun oleh para imam dianggap telah baku, hukum Islam -dan berarti pelaksananya atau Muslim- seolah-olah terlalu sulit mengikuti apalagi mengontrol perkembangan yang terus berlangsung ke arah modernitas. Di sisi lain memahami dan menjalankan praktik muamalah yang sesuai dengan nilai syariah yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber primer ajaran Islam, merupakan suatu kewajiban.
Terkait perkembangan praktik-praktik muamalah yang merupakan keniscayaan yang tak mungkin dihindari, pelaksanaan Muamalah sesuai Syariah ini memerlukan ijtihad yang komprehensif dalam penerapannya, mengingat Al-Qur’an dan Sunnah(Hadis) Nabi yang subjeknya Rasulullah Muhammad SAW telah meninggal lebih dari 14 Abad yang silam Sudah baku-stagnan dan statis atau tidak mungkin berubah, sementara realitas kehidupan terus bergerak dinamis bahkan terkadang sangat cepat maka ajaran Syariah ini perlu dijabarkan dalam konteks ruang dan waktu melalui suatu proses yang dikenal sebagai ijtihad dan produknya berupa kitab-kitab Fiqih dan fatwa-fatwa ulama. Pemahaman Syariah hasil ijtihad ulama terdahulu telah terkodifikasi dalam kitab-kitab fikih sejak abad ke-2 Hijriah tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqih, kaidah-kaidah ushul fiqih dan Maqashid asy-Syaria hyang secara umum terkandung dalam konsep Kemaslahatan. Secara luas illat, rahasia dan tujuan kemaslahatan penetapan suatu hukum dalam bidang muamalah, mengandung indikasi agar manusia ketika menggali prinsip dasar dan aspek normatif perkembangan suatu hukum muamalah tidak hanya berpegang pada teks nash semata, karena mungkin suatu teks ditetapkan berdasarkan kondisi, adat, waktu dan tempat tertentu sesuai dengan kemaslahatan pada waktu dan konteks yang sesuai dengan masanya.
Fiqih Jual Beli Online
Ibnu Qudamah mendefinisikan transaksi Jual beli dengan Mubadalat al Maal bil Maal Tamliikan wa Tamallukan (Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan kepemilikan). Dalam hal ini penjual melepaskan harta berupa barang (objek jual beli) dengan mendapat harta lain Berupa uang begitupula pembeli yang melepaskan harta berupa uang dengan mendapatkan barang objek jual beli tersebut dengan tidak bertentangan dengan Syariah. Agar tidak bertentangan dengan ajaran Syariah, kita perlu memahami apa prinsip dasar dari akad jual beli tersebut, apa aspek normatifnya, dan bagaimana aplikasinya secara positif.
Rukun jual beli menurut jumhur ulama terdiri dari: [1] pihak yang berakad, yakni penjual dan pembeli (‘aqidain), [2] adanya uang dan barang yang diperjualbelikan (mabi’), dan [3] adanya sighat akad (ijab qabul). Dalam Semua rukun jual beli tersebut juga harus terpenuhi syarat-syaratnya. Dalam jual beli tradisional biasanya pedagang dan pembeli berada dalam satu majlis, sehingga semua rukun jual beli tersebut bisa sama persis dengan yang dikenal dalam kitab fikih klasik, termasuk adanya “sighat Ijab Qabul” yaitu ungkapan hak melepaskan kepemilikan dan penyerahan atas barang dengan mengatakan “aku jual” dan penerimaan dari pembeli seraya menyerahkan harga yang disepakati dengan mengatakan” aku beli” berlangsung on the spot. Begitupun apabila ada komplain berupa cacat atau apapun dari pembeli dapat segera diselesaikan saat itu juga karena dalam fiqih jual beli dikenal istrumen “khiyar”. Oleh karena itu rukun jual beli yang diaplikasikan dalam konsep jual beli tradisional tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip akad yaitu adanya: kebebasan, kerelaan, keadilan, kejujuran, kesetaraan dan tertulis (ada nota pembelian). Untuk prinsip tertulis memang terkadang tidak dilakukan jika dalam akad jual beli sederhana dan prinsip-prinsip akad lainnya sudah penuhi.
Praktek jual beli online tentu saja berbeda dengan praktek jual beli tradisional. Dalam hal ini praktek jual beli dilakukan melalui perantara gawai berupa smartphone atau android oleh 2 pihak (penjual dan pembeli) yang berada pada tempat yang berbeda, bahkan bisa jadi tidak saling mengenal, dan biasanya ada perbedaan waktu transaksi dengan waktu barang diterima akibat adanya jarak antara 2 pihak yang berakad tersebut. Seorang pembeli cukup melihat gambar barang dari layar handphone tanpa harus pergi ke toko tersebut kemudian melakukan transaksi pemesanan dan pembayaran via transfer ataupun dengan sistem COD. Dalam banyak kasus mengemuka ada persoalan dari mulai ketidak-puasan sampai penipuan yang dilakukan dalam proses jual beli online ini, yang disebabkan dari tidak terpenuhinya prinsip-prinsip akad yang sudah ditetapkan dalam al-Qur;an dan sunnah. Yang paling sering adalah akarena adanya ketidak jujuran dari pembeli. Ketidak jujuran tersebut bisa jadi karena tidak jujur dalam hal kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahan, sehingga menimbulkan adanya ketidak relaan dan ketidak adilan bagi salah satu pihak (lebih banyak dirasakan pembeli). Bahkan ada yang menjual barang yang cacat, barang tidak sesuai dengan spesifikasi, barang tidak dikirim, dan segala bentuk modus lainnya. Adapun prinsip akad tertulis merupakan prinsip yang pasti dalam transaksi online karena terekam dalam jejak digital.
Dengan demikian sesungguhnya apabila seluruh prinsip akad yang disebutkan yaitu kebebasan, kerelaan, keadilan, kejujuran, kesetaraan dan tertulis dapat terlaksana dalam aplikasinya melalui media online, dan dapat menjamin terjaganya maqasid asy-Syariah (terjaganya agama, jiwa, aqal, kehormatan, dan harta) maka jual beli tersebut sah secara fikih.
Maka transaksi digital dapat dihukumi sah atau sesuai dengan hukum islam, selama dapat menjaga kemaslahatan dan sesuai dengan prinsip akad yang digali dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan menjaga Maqasid asy-Syariah. Hal ini tentu saja melegakan karena tak dapat dipungkiri bahwa maraknya jual beli online telah menghidupkan perekonomian negeri ini, bahkan di masa pandemi sekalipun. Walaupun demikian, selain harus ada sikap hati-hati dan kewaspadaan dalam memilih toko online bagi calon konsumen, pengawasan ketat dari pemerintah, maupun regulasi yang jelas dan adil harus menjadi perhatian semua pihak. Wallahu ‘a`lamu bi as-sawab

TPP Kabupaten Ogan Ilir #Mojodesa