TV Desa – Klaten : Tujuh desa yang mengalami kekeringan akibat kemarau di Klaten, masih terus menerima droping air bersih dari BPBD Kabupaten Klaten.
“Kegiatan pengedropan air bersih untuk daerah rawan kekeringan ini, sudah dilakukan semenjak 4 Juni 2021 silam,” kisah Rujedi Endro Suseno, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Klaten, Selasa (5/10).
Kegiatan droping air bersih oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klaten, Jawa Tengah, untuk membantu warga tujuh desa yang mengalami kekeringan, hingga saat ini, secara total telah mencapai 642 tangki dari rencana 750 tangki. Ketujuh desa tersebut adalah Desa Sidorejo, Tlogowatu, dan Tegalmulyo di Kecamatan Kemalang; Desa Kanoman di Kecamatan Karangnongko; Desa Bandungan di Kecamatan Jatinom; Desa Wiro dan Ngerangan di Kecamatan Bayat.
Hingga saat ini, sebanyak 642 tangki atau 3.210.000 liter telah tersalur ke tujuh desa tersebut. Sebanyak 642 tangki bantuan air bersih itu, lapor Rujedi, didistribusikan ke Desa Sidorejo 148 tangki, Tlogowatu 95 tangki, Tegalmulyo 146 tangki, Bandungan 74 tangki, Kanoman 33 tangki, Wiro 24 tangki, dan Ngerangan 122 tangki.
“Memasuki musim hujan ini, BPBD Klaten masih terus melakukan kegiatan pengedropan air bersih. Alasannya, sumber air dan bak penampungan air hujan di desa yang berada di lereng Gunung Merapi dan Bukit Seribu Gunungkidul itu masih kering,” jelas Rujedi.
BPBD Klaten, menurut Rujedi, tahun ini menyiapkan anggaran penanganan daerah rawan kekeringan Rp241 juta, khususnya untuk kegiatan pengedropan air bersih sebanyak 750 tangki. Hingga saat ini realisasinya telah mencapai 85,6% atau 642 tangki.
Sebelumnya, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klaten, Sip Anwar, mengatakan bahwa musim kemarau tahun ini jumlah desa di Klaten yang mengalami kekeringan tidak sebanyak tahun lalu.
“Tahun ini bisa dikatakan kemarau basah, jadi jumlah desa yang butuh pasokan air bersih juga berkurang,” jelas Anwar.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.