TVDesa – Temanggung : Peringatan HUT ke-79 RI di Desa Campurejo, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung, menyajikan pemandangan yang tak biasa. Ratusan warga, terutama para petani, turut serta dalam upacara bendera dengan mengenakan seragam sekolah dasar. Di balik aksi unik ini, tersimpan pesan mendalam tentang pentingnya pendidikan.
Upacara yang digelar di Mbenteng Sata, sebuah lokasi bersejarah yang juga merupakan destinasi wisata, menjadi sorotan. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan. Mbenteng Sata, yang dulunya berfungsi sebagai pos pengintai pada masa perjuangan kemerdekaan, kini menjadi saksi bisu semangat juang masyarakat Campurejo dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Kenapa Seragam SD?
Kepala Desa Campurejo, Agus Setyawan, menjelaskan bahwa penggunaan seragam SD merupakan simbol kepedulian terhadap pendidikan dasar. “Kita ingin menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan 12 tahun. Sayangnya, berdasarkan data, masih banyak warga Temanggung yang belum menyelesaikan pendidikan dasar,” ujarnya.
Guris, seorang petani setempat, mengungkapkan alasan di balik partisipasinya dalam upacara dengan seragam SD. “Pendidikan pasca SD di desa kami masih kurang. Banyak anak yang putus sekolah karena berbagai kendala, salah satunya faktor ekonomi,” ungkapnya.
Tantangan Pendidikan di Desa
Minimnya akses pendidikan yang berkualitas di daerah pedesaan menjadi salah satu tantangan besar. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, seperti jarak sekolah yang jauh, biaya pendidikan yang mahal, serta kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan.
Melalui kegiatan unik ini, masyarakat Campurejo berharap dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Mereka ingin agar anak-anak mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk meraih masa depan yang cerah.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.