TV Desa – Grobogan : Balai desa Bandungharjo, Rabu (13/10/2021), Kecamatan Toroh, belum beranjak siang, ketika salah satu warganya, datang untuk membayar pajak STNK. Lho, kok di balai Desa?
“Di sini dekat pak, selain itu bisa dicicil. Ini saya pajaknya habis Rp1,5 juta, saya bayar Rp. 1 juta dulu, sisanya dicicil,” kata salah satu warga, sambil mengeluarkan uang ratusan sepuluh lembar.
Usut punya usut, Bandungharjo memang memiliki cara sendiri melayani kebutuhan warganya. Tak perlu harus datang ke kantor Samsat, tapi cukup bayar di kantor desa. Hebatnya lagi, warga tidak perlu bayar lunas pajak kendaraannya, sebab, ada dana talangan dari BUMDes setempat yang bisa diandalkan. Jadi bayar pajak tak perlu lunas, bisa ngutang dan dicicil selama tiga bulan.
“Jadi masyarakat yang belum punya uang untuk melunasi pajak, kita bantu. Umpama habisnya Rp400 ribu, baru punya Rp200 ribu, nanti kekurangannya ditalangi BUMDes,” terang Yanto, Ketua BUMDes Cindelaras.
Dana talangan itu, lanjut Yanto, bisa dicicil dengan pengenaan bunga sangat ringan, yakni hanya tiga persen. Program pembayaran pajak kendaraan bermotor di desanya itu sudah dilakukan sejak 2019 lalu. Program itu sangat diminati masyarakat karena program dana talangan.
“Masyarakat antusias sekali, karena selain malas kalau mau bayar pajak jauh, mereka juga terbantu karena pendapatan mereka sebagai petani kan tidak menentu. Ada yang panen biasanya tiga atau enam bulan sekali, jadi kekurangannya bisa ditalangi,” papar Yanto.
Kreatifitas BUMDes Cindelaras ini juga sempat diapresiasi Gubernur ganjar Pranowo, saat kunjungan kerja ke Grobogan, Rabu (13/10/2021).
“Ini membantu penarikan pajak juga, negara terbantu. Tinggal kita dorong nanti lebih canggih lagi karena ini ada yang masih manual. Dan yang seperti ini di Grobogan sudah ada di delapan kecamatan berbeda,” ucap Ganjar.
Selain membantu masyarakat mendekatkan pelayanan pembayaran pajak, sistem dana talangan juga menurut Ganjar sangat kreatif. Hal ini membuat masyarakat tertib bayar pajak karena ada kemudahan.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.