TV Desa – Bali : Sebuah unggahan yang menampilkan laporan keuangan desa dalam bentuk baliho berukuran besar, dibagikan oleh akun TikTok milik @melalibali.
Dalam unggahannya, nampak laporan keuangan Desa Sanur Kaja di Bali, sengaja dipasang di baliho berukuran besar. Pada umumnya, baliho digunakan untuk media promosi. Baliho tersebut juga ditampilkan di pinggir jalan sehingga masyarakat mampu melihatnya.
Kepala desa Sanur Kaja nampaknya tak ingin kinerjanya dianggap buruk, sehingga membeberkan hasil kinerjanya, terutama dalam hal terkait penggunaan dana desanya dengan mempublikasikannya dalam bentuk baliho besar yang berisi laporan keuangan. Warganet pun dapat membaca dengan jelas total pendapatan yang tertera di baliho tersebut.
Dalam baliho, terpampang jelas rincian tentang pendapatan asli desa, dana transfer, belanja desa, serta pendapatan lain-lain. Berdasarkan laporan keuangan tersebut, total belanja desa mencapai sekitar Rp 7 miliar. Kemudian, untuk pembiayaan sekitar Rp 2 miliar. Tak hanya itu, terdapat total dana tranfer, pendapatan asli desa, dan pendapatan lain-lain yang totalnya mencapai sekitar Rp 5 miliar. Laporan keuangan desa tersebut ditulis secara rinci dan terbuka agar masyarakat mengetahuinya.
“Kalau di desa kalian, laporan keuangannya dipajang seperti ini juga nggak guys?” tulis akun tersebut.
Penampakan baliho berisi rincian laporan keuangan desa menuai reaksi dan komentar dari warganet.
“Boro-boro dipajang, duitnya aja dikorupsi sama kadesnya,” kata warganet.
“Di tiap desa wajib loh, informasiin APBDes, bahkan ada desa yang nampilin secara rinci untuk alokasi anggarannya,” ujar warganet.
“Nggak ada, malah kalau kita tanya tentang keuangan aparat desa marah, terutama kepala desanya,” komentar warganet.
“Di kampung saya nggak ada kayak begini,” timpal warganet.
“Bagus banget ini, pemerintahnya amanah,” balas warganet lain.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.