TVDesa – Jakarta : Tahun 2024 ini, Spectator Index menobatkan Desa Wae Rebo yang berlokasi di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai salah satu desa tercantik di dunia, setelah Rothenburg ob der Tauber, di Jerman.
Desa ikonik di Flores yang terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut menjadi destinasi yang wajib untuk dikunjungi, lantaran kondisinya yang sangat alami dengan pemandangan alam berupa gunung-gunung berpadu dengan 7 rumah adat berbentuk kerucut.
Untuk mencapai lokasi Wae Rebo, kondisi fisik harus benar-benar prima untuk menempuh perjalanan kaki sekitar 7 kilometer dengan kontur mendaki yang memakan waktu selama kurang lebih 3-4 jam, melewati Hutan Todo yang dipenuhi dengan vegetasi anggrek, berbagai jenis pakis, serta kiauan merdu dari beraneka ragam jenis burung.
Sekitar 100 tahun lalu, seorang pria bernama Empu Maro, mendirikan Desa Wae Rebo, yang kemudian dilestarikan oleh penduduk lokalnya, hingga sekarang mencapai keturunan generasi ke-18.
Wae Rebo memiliki hal yang unik dan menjadi ciri khas, yaitu dengan keberadaan rumah adat Mbaru Niang yang tinggi dan berbentuk kerucut, serta tertutup ilalang lontar dari atap hingga ke tanah.
Rumah Mbaru Niang ini memiliki lima tingkat, di mana setiap tingkat dirancang untuk tujuan tertentu. Tingkat pertama, yang disebut lutur atau tenda, adalah tempat tinggal keluarga besar.
Kemudian tingkat kedua, yang disebut lobo atau loteng, dikhususkan untuk menyimpan makanan dan barang-barang. Tingkat ketiga yang disebut lentar adalah tempat penyimpanan benih untuk musim tanam berikutnya.
Sementara tingkat keempat yang disebut lempa rae, untuk menyimpan persediaan makanan jika terjadi kekeringan.
Terakhir, tingkat kelima dan teratas yang disebut hekang kode, juga yang dianggap paling suci, adalah tempat persembahan untuk leluhur.
Penduduk Desa Wae Rebo menyantap singkong dan jagung sebagai bahan makanan pokok mereka. Di sekitar desa, mereka juga menanam kopi, vanili, dan kayu manis, untuk mereka jual di pasar yang terletak sekitar 15 km dari desa.

Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.