TV Desa – Jombang : 10 negara di Asia dan Eropa, tercatat menjadi pelanggan tetap manik-manik yang diproduksi para perajin yang ada di Desa Plumbon Gambang.
“Meskipun ekspor ke luar negeri semenjak pandemi memang menurun, tapi disini kami sudah pernah ekspor hingga Madrid,” kata Wartiah, salah satu perajin manik-manik Desa Plumbon, Sabtu (12/02/2022)
Selain pasar luar negeri, manik-manik hasil produksi 125 unit pengusaha manik manik dari Desa Plumbon, Gambang, dengan pekerja 1.200 orang yang berasal dari masyarakat sekitar baik perempuan maupun laki-laki, juga sangat diminati di dalam negeri. Provinsi Bali, NTT dan beberapa provinsi di Kalimantan, disebut merupakan pasar tetap produk manik-manik asal desa Plumbon.
Terkait diusulkannya Desa Plumbon Gambang sebagai Desa Devisa, Wartiah mengatakan jika dirinya sangat bersyukur dan berterima kasih atas perhatian Gubernur Khofifah yang menjadikan usahanya bersama warga desa Plumbon Gambang Jombang bisa lebih maju.
“Terima kasih ibu Gubernur, semoga kami semua pengrajin manik-manik bisa menerima dampak baik dan berharap dengan sangat bisa menjadi salah satu dari 15 desa devisa,” pungkasnya
Seperti diketahui, Gubernur Khofifah menyebut Kampung Manik-Manik di Jombang ini telah memenuhi keseluruhan kriteria yang dijadikan asesmen oleh LPEI. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang berbasis pengembangan masyarakat atau komunitas (community development), merupakan penggagas program pendampingan Desa Devisa.
Khofifah menyebut, LPEI telah memberikan kuota kepada Jawa Timur, sebanyak 15 desa untuk dijadikan desa devisa pada tahun 2022 ini. Khofifah bersyukur atas besarnya kuota yang diberikan tersebut, karena bisa menjadi pendongkrak kesejahteraan masyarakat desa. Tetapi saat ini yang telah siap ada 20 desa, yang rencananya akan diajukan semua.
“Karena kalau ini jadi desa devisa, akan dibantu desainernya, dibantu pembiayaannya dan dibantu akses pasarnya. Jika sudah masuk katalog LPEI saya berharap bisa mempercepat pengembangannya,” tambah Khofifah.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.