TV Desa – Betun : Pemilihan serentak Kepala desa di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur yang rencananya akan berlangsung pada bulan Agustus sampai Desember 2022, hanya akan diikuti oleh 124 dari 127 desa.
“Alasan 4 Desa yang tidak mengikuti pemilihan serentak tersebut, dikarenakan masa jabatan kades di ke 4 desa tersebut belum berakhir pada saat pelaksanaan Pilkades serentak Agustus sampai Desember 2022 nanti ,” kata Agustinus Nahak, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Malaka, di Betun, Desa Wehali, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Minggu 6 Maret 2022.
Agustinus Nahak mengatakan, keempat desa yang tidak mengikuti pemilihan serentak ini yakni Desa Sisi (Kecamatan Kobalima), Desa Wederok (Kecamatan Weliman), Desa Muke (Kecamatan Rinhat) dan Desa Oekmurak (Kecamatan Rinhat).
“Dari 4 desa tersebut, tiga desa masa jabatan Kadesnya baru akan berakhir pada September 2023 dan satu desanya masa jabatan akan berakhir pada tahun 2024,” jelas Agustinus Nahak.
Agustinus Nahak mengatakan, bahwa tiga desa yang masa jabatannya berakhir pada September 2023 ini yakni Desa Sisi, Desa Wederok dan Muke. Sementara Desa Oekmurak masa jabatan yang akan berakhir pada tahun 2024.
“Untuk ketiga desa tersebut diyakininya bisa melakukan pemilihan desa definitif, dan satu desanya kemungkinan akan dilantik penjabat sementara karena bertabrakan dengan pemungutan suara Pemilu Serentak dan Pilkada Serentak 2024,” tutup Agustinus Nahak.
Semenjak januari 2022, informasi perihal pemilihan kepala desa serentak di Kabupaten Malaka, NTT, yang akan diikuti oleh seluruh desa di 12 kecamatan yang ada di kabupaten Malaka. Sebelumnya diberitakan, bahwa tahapan Pilkades serentak tahun 2022 untuk 127 Desa di Kabupaten Malaka itu, akan digelar pada bulan Juni atau September 2022 mendatang. Sementara, untuk pembentukan panitia Pilkades hingga penerimaan pendaftaran bakal calon Kepala Desa akan segera disampaikan, setelah rancangan Perbup selesai dirancang.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.